Suku Asmat adalah sebuah suku
di Papua. Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran
kayunya yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di
pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian
pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal dialek, cara hidup, struktur sosial dan ritual. Populasi
pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku Bisman yang
berada di antara sungai Sinesty dan sungai Nin serta suku Simai.
Kondisi Alam
Wilayah yang mereka tinggali sangat
unik.Dataran coklat lembek yang tertutup oleh jaring laba-laba sungai.Wilayah
yang ditinggali Suku Asmat ini telah menjadi Kabupaten sendiri dengan nama
Kabupaten Asmat dengan 7 Kecamatan atau Distrik.Hampir setiap hari hujan turun
dengan curah 3000-4000 milimeter/tahun.Setiap hari juga pasang surut laut masuk
kewilayah ini,sehingga tidak mengherankan kalau permukaan tanah sangat lembek
dan berlumpur.Jalan hanya dibuat dari papan kayu yang ditumpuk diatas tanah
yang lembek.Praktis tidak semua kendaraan bermotor bisa lewat jalan ini.Orang
yang berjalan harus berhati-hati agar tidak terpeleset,terutama saat hujan.
Kampung Asmat
Sekarang biasanya, kira-kira 100 sampai
1000 orang hidup di satu kampung. Setiap kampung punya satu rumah Bujang dan
banyak rumah keluarga. Rumah Bujang dipakai untuk upacara adat dan upacara
keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang mempunyai
kamar mandi dan dapur sendiri. Hari ini, ada kira-kira 70.000 orang Asmat hidup
di Indonesia. Mayoritas anak-anak Asmat sedang bersekolah.
Fisik Orang Suku
Asmat
Penduduk Asmat pada umumnya memiliki ciri
fisik yang khas,berkulit hitam dan berambut keriting. Tubuhnya cukup tinggi.
Rata-rata tinggi badan orang Asmat wanita sekitar 162cm dan tinggi badan
laki-laki mencapai 172cm.
Mata Pencaharian
Kebiasaan bertahan hidup dan mencari makan
antara suku yang satu dengan suku yang lainnya di wilayah Distrik Citak-Mitak
ternyata hampir sama. suku asmat darat, suku citak dan suku mitak mempunyai
kebiasaan sehari-hari dalam mencari nafkah adalah berburu binatang hutan
separti, ular, kasuari, burung, babi hutan dll. mereka juga selalu meramuh /
menokok sagu sebagai makan pokok dan nelayan yakni mencari ikan dan udang untuk
dimakan. kehidupan dari ketiga suku ini ternyata telah berubah.
Sehari-hari orang Asmat bekerja
dilingkungan sekitarnya,terutama untuk mencari makan, dengan cara berburu
maupun berkebun, yang tentunya masih menggunakan metode yang cukup tradisional
dan sederhana. Masakan suku Asmat tidak seperti masakan kita. Masakan istimewa
bagi mereka adalah ulat sagu. Namun sehari-harinya mereka hanya memanggang ikan
atau daging binatang hasil buruan.
Masakan suku Asmat tidak seperti masakan
kita. Masakan istimewa bagi mereka adalah ulat sagu. Namun sehari-harinya
mereka hanya memanggang ikan atau daging binatang hasil buruan.
Dalam kehidupan suku Asmat “batu” yang
biasa kita lihat dijalanan ternyata sangat berharga bagi mereka. Bahkan,
batu-batu itu bisa dijadikan sebagai mas kawin. Semua itu disebabkan karena
tempat tinggal suku Asmat yang membetuk rawa-rawa sehingga sangat sulit
menemukan batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat
kapak, palu, dan sebagainya.
Makanan Pokok
Makanan Pokok orang Asmat adalah
sagu,hampir setiap hari mereka makan sagu yang dibuat jadi bulatan-bulatan yang
dibakar dalam bara api.Kegemaran lain adalah makan ulat sagu yang hidup
dibatang pohon sagu,biasanya ulat sagu dibungkus dengan daun nipah,ditaburi
sagu,dan dibakar dalam bara api.Selain itu sayuran dan ikan bakar dijadikan
pelengkap. Namun demikian yang memprihatinkan adalah masalah sumber air
bersih.Air tanah sulit didapat karena wilayah mereka merupakan tanah
berawa.Terpaksa menggunakan air hujan dan air rawa sebagai air bersih untuk
kebutuhan sehari-hari.
Pola Hidup
Satu hal yang patut ditiru dari pola hidup
penduduk asli suku asmat,mereka merasa dirinya adalah bagian dari alam, oleh
karena itulah mereka sangat menghormati dan menjaga alam sekitarnya, bahkan,
pohon disekitar tempat hidup mereka dianggap menjadi gambaran dirinya. Batang
pohon menggambarkan tangan, buah menggambarkan kepala, dan akar menggambarkan
kaki mereka
Adat istiadat suku
asmat
Suku Asmat adalah suku yang menganut
Animisme, sampai dengan masuknya para Misionaris pembawa ajaran baru, maka
mereka mulai mengenal agama lain selain agam nenek-moyang. Dan kini, masyarakat
suku ini telah menganut berbagai macam agama, seperti Protestan, Khatolik
bahkan Islam. Seperti masyarakat pada umumnya, dalam menjalankan proses
kehidupannya, masyarakat Suku Asmat pun, melalui berbagai proses, yaitu :
·
Kehamilan, selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga
dengan baik agar dapat lahir dengan selamat dengan bantuan ibu kandung alau ibu
mertua.
·
Kelahiran, tak lama setelah si jabang bayi lahir dilaksanakan upacara
selamatan secara sederhana dengan acara pemotongan tali pusar yang menggunakan
Sembilu, alat yang terbuat dari bambu yang dilanjarkan. Selanjutnya, diberi ASI
sampai berusia 2 tahun atau 3 tahun.
·
Pernikahan, proses ini berlaku bagi seorang baik pria maupun wanita yang
telah berusia 17 tahun dan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki setelah kedua
belah pihak mencapai kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli
wanita dengan mas kawinnya piring antik yang berdasarkan pada nilai uang
kesepakatan kapal perahu Johnson, bila ternyata ada kekurangan dalam penafsiran
harga perahu Johnson, maka pihak pria wajib melunasinya dan selama masa
pelunasan pihak pria dilarang melakukan tindakan aniaya walaupun sudah
diperbolehkan tinggal dalam satu atap.
·
Kematian, bila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya
disimpan dalam bentuk mumi dan dipajang di depan joglo suku ini, tetapi bila
masyarakat umum, jasadnya dikuburkan. Proses ini dijalankan dengan iringan
nyanyian berbahasa Asmat dan pemotongan ruas jari tangan dari anggota keluarga
yang ditinggalkan.
Rumah adat
Rumah Tradisional Suku Asmat adalah Jeu
dengan panjang sampai 25 meter.Sampai sekarang masih dijumpai Rumah Tradisional
ini jika kita berkunjung ke Asmat Pedalaman.Bahkan masih ada juga diantara
mereka yang membangun rumah tinggal diatas pohon.
Agama
Masyarakat Suku Asmat beragama
Katolik,Protestan,dan Animisme yakni suatu ajaran dan praktek keseimbangan alam
dan penyembahan kepada roh orang mati atau patung. Bagi Suku Asmat ulat sagu
merupakan bagian penting dari ritual mereka.Setiap ritual ini diadakan,dapat
dipastikan,kalau banyak sekali ulat yang dipergunakan. (Kal Muller,Mengenal
Papua,2008,hal.31)
Kepercayaan dasar
Adat istiadat suku Asmat mengakui dirinya
sebagai anak dewa yang berasal dari dunia mistik atau gaib yang lokasinya
berada di mana mentari tenggelam setiap sore hari. Mereka yakin bila nenek
moyangnya pada jaman dulu melakukan pendaratan di bumi di daerah pegunungan.
Selain itu orang suku Asmat juga percaya bila di wilayahnya terdapat tiga macam
roh yang masing-masing mempunyai sifat baik, jahat dan yang jahat namun mati.
Berdasarkan mitologi masyarakat Asmat berdiam di Teluk Flamingo, dewa itu
bernama Fumuripitis. Orang Asmat yakin bahwa di lingkungan tempat tinggal
manusia juga diam berbagai macam roh yang mereka bagi dalam 3 golongan.
·
Yi – ow atau roh nenek moyang yang bersifat baik terutama bagi
keturunannya.
·
Osbopan atau roh jahat dianggap penghuni beberapa jenis tertentu.
·
Dambin – Ow atau roh jahat yang mati konyol.
Kehidupan orang Asmat banyak diisi oleh
upacara-upacara. Upacara besar menyangkut seluruh komuniti desa yang selalu
berkaitan dengan penghormatan roh nenek moyang seperti berikut ini :
·
Mbismbu (pembuat tiang)
·
Yentpokmbu (pembuatan dan pengukuhan rumah yew)
·
Tsyimbu (pembuatan dan pengukuhan perahu lesung)
·
Yamasy pokumbu (upacara perisai)
·
Mbipokumbu (Upacara Topeng)
Suku ini percaya bahwa sebelum memasuki
surga, arwah orang yang sudah meninggal akan mengganggu manusia. Gangguan bisa
berupa penyakit, bencana, bahkan peperangan. Maka, demi menyelamatkan manusia
serta menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat patung dan menggelar pesta
seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta perahu, dan pesta
ulat-ulat sagu.
Upacara suku asmat
·
Ritual Kematian
Orang Asmat tidak mengenal dalam hal
mengubur mayat orang yang telah meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang
alamiah. Bila seseorang tidak mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang
tersebut mati karena suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang baru lahir
yang kemudian mati pun dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih
karena mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh.
Sebaliknya kematian orang dewasa mendatangkan duka cita yang amat mendalam bagi
masyarakat Asmat.
Suku Asmat percaya bahwa kematian yang
datang kecuali pada usia yang terlalu tua atau terlalu muda, adalah disebabkan
oleh tindakan jahat, baik dari kekuatan magis atau tindakan kekerasan.
Kepercayaan mereka mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang sudah
meninggal. Roh leluhur, kepada siapa mereka membaktikan diri, direpresentasikan
dalam ukiran kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu yang berukir
figur manusia. Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat memenuhi
kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama anggota, kepada leluhur dan
sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa kepala musuh mereka, sementara
bagian badannya di tawarkan untuk dimakan anggota keluarga yang lain di desa
tersebut.
Apabila ada orang tua yang sakit, maka
keluarga terdekat berkumpul mendekati si sakit sambil menangis sebab mereka
percaya ajal akan menjemputnya. Tidak ada usaha-usaha untuk mengobati atau
memberi makan kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak berani
mendekatinya karena mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah seorang dari
yang dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah dimana si sakit dibaringkan,
dibuatkan semacam pagar dari dahan pohon nipah. Ketika diketahui bahwa si sakit
meninggal maka ratapan dan tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang ditinggalkan
segera berebut memeluk sis akit dan keluar rumah mengguling-gulingkan tubuhnya
di lumpur. Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah kematian telah menutup
semua lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk utama) dengan maksud
menghalang-halangi masuknya roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat menjelang
kematian. Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menangis setiap
hari sampai berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur dan mencukur habis
rambutnya. Yang sudah menikah berjanji tidak akan menikah lagi (meski nantinya
juga akan menikah lagi) dan menutupi kepala dan wajahnya dengan topi agar tidak
menarik bagi orang lain.
Mayat orang yang telah meninggal biasa
diletakkan di atas para (anyaman bambu), yang telah disediakan di luar kampung
dan dibiarkan sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan
di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan sebagai
bantal petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya bahwa
roh-roh orang yang telah meninggal tersebut (bi) masih tetap berada di dalam
kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam bentuk patung mbis, yaitu
patung kayu yangtingginya 5-8 meter. Cara lain yaitu dengan meletakkan jenazah
di perahu lesung panjang dengan perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk
kemudian dilepas di sungai dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju
peristirahatan terakhir roh-roh.
Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari
luar, orang Asmat telah mengubur jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang
meninggal. Umumnya, jenazah laki-laki dikubur tanpa menggunakan pakaian,
sedangkan jenazah wanita dikubur dengan menggunakan pakaian. Orang Asmat juga
tidak memiliki pemakaman umum, maka jenazah biasanya dikubur di hutan, di
pinngir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu dikubur,
keluarga tetap dapat menemukan kuburannya.
·
Ritual Pembuatan dan Pengukuhan Perahu Lesung
Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat
membuat perahu-perahu baru.Dalam proses pembuatan prahu hingga selesai, ada
berapa hal yang perlu diperhatikan. Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas
kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap untuk diangkut
ke pembuatan perahu. Sementara itu, tempat pegangan untuk menahan tali penarik
dan tali kendali sudah dipersiapkan. Pantangan yang harus diperhatikan saat
mengerjakan itu semua adalah tidak boleh membuat banyak bunyi-bunyian di
sekitar tempa itu. Masyarakat Asmat percaya bahwa jika batang kayu itu diinjak
sebelum ditarik ke air, maka batang itu akan bertambah berat sehingga tidak
dapat dipindahkan.
Untuk menarik batang kayu, si pemilik
perahu meminta bantuan kepada kerabatnya. Sebagian kecil akan mengemudi kayu di
belakang dan selebihnya menarik kayu itu. Sebelumnya diadakan suatu upacara
khusus yang dipimpin oleh seorang tua yang berpengaruh dalam masyarakat.
Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya akan berjalan seimbang dan lancar.
Perahu pun dicat dengan warna putih di
bagian dalam dan di bagian luar berwarna merah berseling putih. Perahu juga
diberi ukiran yang berbentuk keluarga yang telah meninggal atau berbentuk
burung dan binatang lainnya.Setelah dicat, perahu dihias dengan daun sagu.
Sebelum dipergunakan, semua perahu diresmikan terlebih dahulu. Para pemilik
perahu baru bersama dengan perahu masing-masing berkumpul di rumah orang yang
paling berpengaruh di kampung tempat diadakannya pesta sambil mendengarkan
nyanyi -nyanyian dan penabuhan tifa. Kemudian kembali ke rumah masing-masing
untuk mempersiapkan diri dalam perlombaan perahu. Para pendayung menghias diri
dengan cat berwarna putih dan merah disertai bulu-bulu burung. Kaum anak-anak
dan wanita bersorak-sorai memberikan semangat dan memeriahkan suasana. Namun,
ada juga yang menangis mengenang saudaranya yang telah meninggal.
Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan dalam
rangka persiapan suatu penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah selesai,
perahu -perahu ini dicoba menuju tempat musuh dengan maksud memanas -manasi
mereka dan memancing suasana musuh agar siap berperang. Sekarang, penggunaan
perahu lebih terarahkan untuk pengangkutan bahan makanan.
·
Upacara Bis
Upacara bis merupakan salah satu kejadian
penting di dalam kehidupan suku Asmat sebab berhubungan dengan pengukiran
patung leluhur (bis) apabila ada permintaan dalam suatu keluarga. Dulu, upacara
bis ini diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah mati terbunuh,
dan kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota keluarga dari
pihak yang membunuh.
Untuk membuat patung leleuhur atau saudara
yang telah meninggal diperlukan kurang lebih 6-8 minggu. Pengukiran patung
dikerjakan di dalam rumah panjang (bujang) dan selama pembuatan patung
berlangsung, kaum wanita tidak diperbolehkan memasuki rumah tersebut. Dalam
masa-masa pembuatan patung bis, biasanya terjadi tukar-menukar istri yang
disebut dengan papis. Tindakan ini bermaksud untuk mempererat hubungan
persahabatan yang sangat diperlukan pada saat tertentu, seperti peperangan.
Pemilihan pasangan terjadi pada waktu upacara perang-perangan antara wanita dan
pria yang diadakan tiap sore.
Upacara perang-perangan ini bermaksud
untuk mengusir roh-roh jahat dan pada waktu ini, wanita berkesempatan untuk
memukul pria yang dibencinya atau pernah menyakiti hatinya. Sekarang ini,
karena peperangan antar clan sudah tidak ada lagi, maka upacara bis ini baru
dilakukan bila terjadi mala petaka di kampung atau apabila hasil pengumpulan
bahan makanan tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini disebabkan roh-roh
keluarga yang telah meninggal yang belum diantar ketempat perisitirahatan
terakhir, yaitu sebuah pulau di muara sungai Sirets.
Patung bis menggambarkna rupa dari anggota
keluarga yang telah meninggal. Yang satu berdiri di atas bahu yang lain
bersusun dan paling utama berada di puncak bis. Setelah itu diberikan warna dan
diberikan hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas suatu
panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang
ditinggalkan akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan dan
mereka mengharapkan agar roh-roh yang telah meninggal itu berangkat ke pulau Sirets
dengan tenang. Mereka juga memohon agar keluarga yang ditinggalkan tidak
diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya, patung bis ini kemudian ditaruh dan
ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.
·
Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (yentpokmbu)
Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah,
yaitu rumah keluarga dan rumah bujang (je). Rumah bujang inilah yang amat
penting bagi orang-orang Asmat. Rumah bujang ini dinamakan sesuai nama marga
(keluarga) pemiliknya.
Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik
yang bersifat religius maupun yang bersifat nonreligius. Suatu keluarga dapat
tinggal di sana, namun apabila ada suatu penyerangan yang akan direncanakan
atau upacara-upacara tertentu, wanita dan anak-anak dilarang masuk. Orang-orang
Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah bujang yang baru, yang dihadiri oleh
keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang juga diikuti oleh beberapa orang
dan upacara dilakukan dengan tari-tarian dan penabuhan tifa.